Monday, January 15, 2007
Waktu di Tanggulangin Sidoarjo
posted by Qie @ 2:08 AM  
Rekonstruksi Peradaban untuk Melawan Terorisme

Dialog peradaban yang akhir-akhir ini sering ditawarkan oleh berbagai pihak diyakini sebagai solusi efektif untuk menetralisasi terorisme. Sayangnya proses tersebut hanya dilakukan pada kalangan terbatas, yaitu para intelektual. Sementara itu, tokoh-tokoh masyarakat yang langsung bersentuhan dengan grass root dan memiliki masalah dengan westernisasi tidak banyak terlibat di dalamnya. Jadi hasil dari dialog tersebut tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap sikap saling memahami.

Sebenarnya, jika dilibatkanpun mereka tetap akan mengalami kesulitan untuk saling memahami, sebab ada persoalan pada paradigma mereka. Dialog menjadi tidak efektif jika kemampuan memberi dan menerima belum dimiliki. Hal ini sulit terwujud selama paradigma masing-masing tidak direkonstruksi lebih dulu. Atas dasar itu gagasan dialog peradaban, sejatinya diawali dengan rekonstruksi peradaban.

Peradaban Barat dan Islam

Kemajuan peradaban Barat telah mengikis ”kearifan perennial” ketika alam ditempatkan sebagai mesin raksasa yang bekerja secara mekanistik dan deterministik. Tuhan, dalam paradigma Barat, telah tergeserkan dengan hukum alam yang bekerja secara matematis. Di sinilah materialisme berjaya, yang merayakan empirisme dan positivisme sebagai kebenaran tertinggi. Paradigma ini berakar kuat dari arsitek modernisme, Rene Descartes dan Newton, dan dipakai diseluruh disiplin keilmuan (Sosiologi, Biologi, Psikologi, dll). Atas dasar itulah Arnold Toynbee menyebutkan bahwa telah terjadi ketimpangan besar dalam peradaban Barat. Di satu sisi sains dan teknologi berkembang pesat, di sisi lain kearifan moral dan kemanusiaan tidak mengalami perkembangan (Choose Life: A Dialogue, 1976).

Peradaban Barat seakan menyiratkan bahwa kemajuan harus dilandasi dengan penolakan campur tangan Tuhan. Namun dampak negatif dari pandangan tersebut jelas terasa, tersingkirnya ”kearifan perennial”. Kebijakan pemerintah Barat seakan menafikan moralitas, semuanya bermuara pada kepentingan politik kelompok. Inilah salah satu kritik Hans Kung dalam bukunya (A Global Ethics for Global politics and Economics, 1997). Maka diskriminasi terhadap Palestina didorong oleh adanya kepentingan politik terhadap Israel. Nilai-nilai humanis tergeserkan oleh kepentingan yang lebih sempit, yaitu kekuasaan dan kekayaan.
Rasionalitas modern Cartesian-Newtonian juga mengarah pada ”logika oposisi biner”, dimana tercipta pasangan yang bias seperti; subyek-obyek, Barat-Timur, akal-intuisi, materi-immateri, atas-bawah, laki-perempuan, dst. Yang disebut di awal lebih sempurna dan mulia ketimbang yang terakhir. Paradigma tersebut seakan menyiratkan bahwa Barat lebih mulia ketimbang Timur (baca: Islam). Seperti dikatakan oleh Richard Rorty bahwa Barat mengidap Eurosentrisme, yaitu kebanggaan sebagai ras Eropa. Meski pendapat ini tidak bisa kita gunakan secara tepat kepada Barat dalam pengertian Amerika ––sebab Amerika bukan bagian dari Eropa–– namun setidaknya paradigma Cartesian mendorong lahirnya kebanggaan sebagai ras yang lebih unggul.
Sementara itu, sebagian besar umat Islam sendiri masih berlandas pada teologi eksklusif, yang meyakini bahwa kebenaran hanya milik Islam dan di luar Islam adalah sesat. Ini tentu juga memunculkan ”arogansi teologis”, sehingga relasi muslim dan non-muslim jadi terganggu. Bahkan eksklusifisme semacam ini akan mendorong untuk melakukan kekerasan. Logikanya akan membenarkan untuk menggunakan kekerasan demi tegaknya kebenaran. Mereka merujuk pada ajaran Islam hasil konstruksi ”nalar klasik”, yang memandang non-Muslim sebagai warga negara sekunder, yang dibebani kewajiban untuk membayar upeti kepada pemerintahan Islam. Bahkan memandang non-Muslim sebagai ”kafir”, suatu label yang memiliki beban pejoratif. Sungguh sebuah diskriminasi yang dilatari perbedaan teologi, seakan ada ”arogansi teologis”.
Dalam konteks inilah ”nalar klasik” membolehkan untuk melakukan teror terhadap ”kafir” (Barat). Argumentasi Amrozi dkk dalam tragedi bom
Bali jelas menyiratkan ”arogansi teologis”. Atas nama Tuhan mengoyak harkat kemanusiaan. Atas nama kebenaran menebar teror terhadap masyarakat Barat yang tak berdosa. Jadi dengan paradigma semacam ini bagaimana mungkin bisa tercipta sebuah dialog peradaban yang saling memahami dan menghargai?


Rekonstruksi Peradaban

Rekonstruksi peradaban dimaksudkan agar dapat meninjau ulang pandangan yang mendasari peradaban. Sebagaimana telah dijelaskan di awal, peradaban Barat memiliki akar yang kuat dalam paradigma Cartesian-Newtonian. Sebenarnya beberapa ilmuwan Barat sendiri telah mulai melakukan kritik dan rekonstruksi, agar Barat lebih memiliki ”kearifan perennial”. Gerakan posmodernisme yang diwakili sayap rekonstruktif semacam Paul Ricouer, Gadamer, Fritchof Chapra, Gary Zukav, dll misalnya, telah banyak memberikan kontribusi bagi perbaikan tersebut (Bambang Sugiharto, 1996). Sayangnya, pandangan ini belum dihayati secara mendalam oleh para pengambil kebijakan di Barat (baca: Amerika). Jadi tugas awal dalam membangun dialog peradaban adalah merubah paradigma lama dalam benak mereka, dan itu adalah tugas cendekiawan Barat.

Sedangkan untuk Islam kita perlu melakukan ”kritik nalar Islam”, maksudnya sebagai dekonstruksi atas ”nalar klasik”, yakni dekonstruksi terhadap epistemologi yang digunakan dalam mengkonstruksi ajaran Islam. Dalam pemikiran Islam, kritik nalar diperkenalkan oleh beberapa pemikir Islam terkemuka, seperti Mohammad Abed Al-Jabiri, Mohammed Arkoun, Nashr Hamid Abu Zayd, Abdullahi Ahmed An-Naim, dll. Mereka secara khusus melakukan penelaahan pada syari’ah Islam, baik pemikiran Teologi, Fiqih, ataupun Filsafat. Dalam pandangan Abdullahi Ahmed An-Naim misalnya, ”nalar klasik” terjebak pada teks kitab suci yang diturunkan pada periode Madinah. Padahal pada periode ini ada tuntutan realitas yang mengkondisikan syari’ah Islam menjadi eksklusif dan lokal-partikular. Relasi muslim dan non-muslim, jender, dst berada dalam konteks ruang dan waktu yang partikular. Sehingga mengharuskan syari’ah dikemas dengan budaya lokal. Seperti dapat dicermati dalam kitab suci, teks yang turun diperiode ini seakan membedakan muslim dan non-muslim. Penggunaan term kafir dzimmi (kafir yang dilindungi) memposisikan mereka sebagai warga negara kelas dua, berbeda dengan muslim. Maka An-Na’im menawarkan ”evolusi syari’ah”, yakni beranjak meninggalkan teks periode Madinah menuju teks periode Mekkah (Abdullahi Ahmed An-Na’im, 1994). Di periode ini ajaran Islam berbicara tentang sesuatu yang universal, mengenai relasi jender misalnya, laki-laki dan perempuan diciptakan setara, kemudian seruan kebaikan ditujukan kepada seluruh manusia, bukan hanya muslim. Jadi jelas, ”evolusi syari’ah” adalah sebuah tawaran tentang ”nalar Islam modern” yang memandang kesetaraan. Sementara Al-Jabiri mencermati bahwa konstruksi ajaran Islam terkait dengan kekuasaan. Ia kerap digunakan untuk menopang kekuasaan. Oleh karena itulah ”nalar klasik” bermain di antara pertarungan kekuasaan. Maka menurut Al-Jabiri membongkar tradisi klasik untuk membuat tradisi baru yang sejalan dengan modernitas adalah sebuah keniscayaan (Mohammad Abed Al-Jabiri, 2000). Mengubah paradigma lama dalam umat Islam tentu merupakan tugas internal cendekiawan Islam. Dengan begitu, ajakan dialog antar peradaban lebih mudah diwujudkan, dan tidak bergerak di lingkaran kecil yang elitis.

posted by Qie @ 1:40 AM  
MUSPIMDA PMII di Nganjuk
posted by Qie @ 1:38 AM  
Sahabat......!!!

Selangkah demi selangkah kaki ini berjalan

Entah hati ini membawa kaki kemana ?

Tapi pasti tidak akan jauh dari jalan kebenaran

Pergerakan tidak akan benar ketika tidak disertai kejujuran

Sahabat-sahabati yang selalu dalam lindungan Allah

Ingatlah akan kewajiban sebagai seorang pembela agama dan bangsa

Banyak masih kaum miskin kota yang menunggu pembelaan dari sahabat-sahabati

Berjuanglah demi apa yang kita cita-citakan selama ini

Semangat dan tetap berjuang

posted by Qie @ 1:34 AM  
SIGNIFIKANSI SEBUAH ORGANISASI MAHASISWA

Menggugat Nalar Pragmatisme Mahasiswa

Mahasiswa sebagai salahsatu elemen sosial kampus memposisikan dirinya sebagai organ civitas akademika, yang diasumsikan bahwa sebagai masyarakat kampus mahasiswa dianggap lebih berpotensi intelektual dalam perilaku ilmiah, obyektif dan bertanggungjawab. Entitas yang demikian mengharuskan mahasiswa mampu mengaktualisasikan citra diri insan akademik melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam merealisasikan tanggung jawabnya sebagai sebuah Idealitas yaitu pertama, dari segi pendidikan mahasiswa harus mampu merangkai teori-teori, berdiskusi dan menelurkan ide-ide ilmiah yang cukup Brilian. Kedua Penelitian, mahasiswa mampu mempertemukan antara teori yang terpaparkan dengan realitas obyektif secara empirik dalam mencari sebuah fakta sosial. Ketiga Pengabdian kepada masyarakat sebagai perwujudan akan hasil studi dan analisis teori secara spekulatif sebagai tanggung jawab sosial.

Dengan demikian cukup jelas bahwa mahasiswa mempunyai peran besar yang harus diemban dibalik jaket almamaternya yaitu identitas agent of social change (agen perubahan sosial).Tugas tersebut mempertegas realisasi apa yang menjadi sumpah mahasiswa untuk mewujudkan sebuah bangsa yang tanpa penindasan ,tanah air penuh keadilan serta berbahasa kebenaran.

Peran Organisasi di Dunia Kampus

Pengertian organisasi secara sederhana adalah kesatuan dari beberapa orang yang membentuk komunitas dengan usaha sadar bersama-sama mencapai suatu tujuan tertentu. Manusia sebagai makhluk sosial pasti membutuhkan jasa orang lain, saling membutuhkan dalam proses pemberdayaan dan perjuangan ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Kecenderungan untuk berinteraksi selalu timbul hingga kemudian mewujudkan suatu komunitas dengan beberapa impian/ keinginan untuk diperjuangkan.

Dilingkungan kampus, organisasi merupakan wadah (komunitas) yang keberadaannya cukup dianggap ruh dari berbagai macam aktivitas mahasiswa, terbukti bahwa Pertama, organisasi menawarkan pengalaman-pengalaman berharga dimana hal tersebut tidak akan diperoleh hanya dibangku kuliah. Kedua, organisasi memberikan kerangka praksis dari teori-teori yang telah didapatkan dikuliah. Ketiga, organisasi mampu memupuk kepedulian mahasiswa terhadap sesamanya dan dilingkungan sekitarnya baik dari aspek sosial, ekonomi, budaya, hukum dan lain-lain. Selain dinyatakan sebagai wadah yang mampu merespon apa yang menjadi kepentingan suatu kelompok, organisasi juga sebagai proses yang ideal bagaimana kemudian mahasiswa mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai agen perubahan sosial.

Realitas yang terjadi

Namun hal yang demikian tidak banyak disadari mayoritas mahasiswa terutama IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dalam benak mereka semua apa yang menjadi impiannya akan terjawab tuntas dalam ruang perkuliahan, padahal kuliah dikampus dengan memenuhi segala formalitas yang ada bukanlah ruang yang kondusif dan kurang representatif untuk berartikulasi dan beraktualisasi secara maksimal. Mahasiswa lebih banyak berkarakter dengan 3K (Kuliah,Kantin dan Kost) tanpa menyadari bahwa suatu hasil yang memuaskan membutuhkan berbagai pengalaman dan proses kreatif produktif yang cukup panjang. Mahasiswa lebih berfantasi ria memenuhi segala apa yang menjadi kebijakan birokrasi kampus, berusaha mencapai nilai A(empat) dan bergelar sarjana dalam durasi waktu yang cukup singkat tanpa menyadari bahwa potensi yang dihasilkan tersebut layak jual dalam arti cukup representatif untuk menjawab segala tantangan dalam realitas sosial.

Pola pikir prragmatis yang demikianlah yang membumi hanguskan eksistensi mahasiswa sebagai individu ynag seharusnya mampu membangun komitmen untuk merealisasikan kompetensi intelektualitas dirinya dan mengaktualisasikan perannya sebagai agent of sosial change.

Memahami realitas yang seperti ini pragmatisme sudah mengkristal dalam otak mahasiswa, kompetensi mahasiswa dalam ketidak jelasan dan krisis akan eksistensi diri. Sudah saatnya kita sebagai mahasiswa menyadari bahwa akses informasi pendidikan bukanlah berada diruang formal an sich tetapi banyak ruang non formal (organisasi) ayng cukup mampu memberikan media untuk menyemai ide-ide ilmiah dan usaha praksis dalam menghasilkan karya intelektual sebab ada tiga indikator seorang sarjana bisa dikatakan intelektual organ yaitu pertama, seseorang mampu memahami teks yang dibaca dengan kreatifitas bahasanya sendiri dan memposisikan apa yang dibaca sebagai pikiran penulisnya. Kedua,mampu menganalisis sekaligus mengaktualisasikan ide secara profesional. Ketiga, bukan hanya mampu menganalisis dan mengaktualisikan tetapi mampu berkreasi dan berinofasi dalam sebuah karya sebagai suatu langkah pembaharuan.

Maka sadarilah untuk tidak selalu pasrah pada kekuatan di luar, tetapi yakinkanlah untuk mempertegas eksistensi diri dalam menapaki bangunan realitas sosial yang penuh dengan tantangan dan rintangan. Manfaatkanlah banyak ruang yang ada untuk menggali potensi serta siapkan modal sebanyak mungkin semenjak dini untuk menjawab segala tantangan globalisasi masa depan.

posted by Qie @ 1:17 AM  
About Me


Nama: Qie
Asal: Mojokerto, East Java, Indonesia
E-mail:
See my complete profile

My Documents
Links
Konco Cangkruk